Minggu, 06 September 2015


Langkah Penentu
by: Nyimas Anabella K.

          Sudah pukul 8 malam ucapku dalam hati, perlahan ku lirik ke arah tangga tanpa terkejut menyadari bahwa cahaya remang-remang masih menyinari, terlihat olehku bayang-bayang seseorang sesaat kemudian cahaya itu padam.
          “Jadi bagaimana menurutmu?” Kata suara yang tak sabaran dari sebelah kananku yang membuatku terlepas dari lamunanku, aku baru ingat aku berada di rumah sahabatku, sahabatku itu sedang sibuk membalik halaman bukunya, “Kau tahu hanya orang bodoh yang berpikir dirinya lebih tinggi dari orang lain, ataupun merasa dia lebih pintar dari orang yang dia kira bodoh,” Tambahnya lalu dia menutup bukunya menimbulkan sedikit bunyi lalu menaruhnya di atas tumpukan buku lainnya, sekarang perhatiannya tertuju ke arahku seakan meminta balasan cepat dariku.
          “Dan darimana kau dapat kata-kata itu?” Kataku singkat dengan senyum berusaha menjawab tatapan itu.
          “Well, dengan bangga aku mengatakannya atas penilaianku dari orang-orang yang telah aku temui,” Jawabnya percaya diri sambil menaikkan sebelah alisnya, memang ada rasa percaya diri dalam nada suaranya, “Anehnya ketika aku mengatakannya terhadap orang yang bersangkutan dia tidak kelihatan senang,” Katanya sambil mengangkat bahunya dan memiringkan sedikit kepalanya ke kanan membiarkan kacamatanya bergeser sedikit.
          “Yah, aku tak bisa bilang kau salah sih, tapi cobalah simpan setian kritikanmu untuk dirimu sendiri,” Ucapku tanpa melihat ke arahnya, perhatianku masih tertuju ke arah tangga, aku cukup mengenal sahabatku untuk tahu ekspresi wajah apa yang sedang dia buat.
          “Aha!” Serunya tanpa niat, “Rupanya sobatku sudah bosan, kita bisa mulai bermain kalau kau mau,” katanya riang aku mulai bertanya-tanya siapa yang bosan sebenarnya.
          “Anu,” Suara berasal dari muka pintu, seorang wanita tua dengan rambut yang hampir putih seluruhnya yang ditata seadanya membentuk sanggul berantakan, pakaiannya terlihat lama yang sudah kehilangan warnanya, suaranya terdengar kering. Ibuku kataku dalam hati. Tanpa menunda lagi aku segera beranjak keluar tak lupa aku mengedipkan sebelah mataku pada sobatku.
          “Eww,” Sahabatku membuat suara seperti anak perempuan yang sedang melihat kotoran untuk membalas kedipanku, aku tertawa geli.
*
          Aku berjalan melintasi jalan raya tanpa alas kaki mersakan aspal bercampur kerikil menusuk kakiku, di depanku Ibuku berjalan memperlihatkan bentuk badannya yang tidak enak dilihat terlihat dari belakang aku tidak bisa untuk tidak merasa kasihan pada Ibuku sendiri meakipun aku tahu bahwa itu tidak sopan.
          Aku memasukkan tanganku ke kantung celanaku berusaha melawan hawa dingin pada malam hari, meskipun sudah setiap malam berjalan pada jalan yang sama serta melawan suhu yang sama dan keheningan yang tak biasa dalam hal ibu dan anak tetapi tubuhku tidak juga terbiasa, lalu aku melirik ke arah Ibuku yang memakai baju tipisnya dan hanya berjalan sambil memandangi tanah, aku bertanya-tanya apakah ibuku sudah terbiasa. Aku mempercepat jalanku, sekarang aku dan Ibuku berjalan di garis yang sama.
          “Bagaimana sekolah?” Tanya Ibuku berusaha memulai percakapan, pertanyaan yang setiap anak di dunia sudah bosan.
          “Ibu tahu aku tidak mau sekolah,” Seruku tanpa bimbang, aku tahu menilai keadaan keuangan keluargaku yang hanya Ibuku seorang yang mencari uang, aku sudah pasti mengecewakannya, “Aku mulai berpikir sebaiknya aku jualan Koran atau menjadi buruh yang memakai otot saja,” tambahku.
          Aku cukup tahu Ibuku untuk mengetahui perasaannya, kecewa dan sedih perasaan yang setiap orangtua akan rasakan jika mendengar ankanya berkata begitu, “kalau Ibu memang ingin kau mendari uang, dari awal kau tidak akan tahu cara membaca, nak,” Kata ibuku sedikit bergumam, aku bahkan tak tahu kalau dia marah atau tidak, kecewa pikirku.
          Di belokan jalan kami sekali lagi berjalan tanpa suara, layaknya berjalan dengan orang yang tak dikenal dan kita pun tak ingin mengenalnya.
          “Mungkin memang aku tak harus bisa membaca,” kataku lalu memalingkan wajah ke Ibuku, ibuku balas menoleh, matanya berkaca-kaca, “maksudku, kalau aku juga nantinya akan jadi buruh aku tak butuh keunggulan itu,” Lanjutku suaraku lebih keras dari sebelumnya, aku sendiri bingung mengapa suaraku seperti itu.
          Aku dan Ibuku sudah berhenti berjalan, berhenti di depan toko buku yang berhiasi lampu bertuliskan “BUKA” yang dari kaca toko itu terlihat seorang lelaki tua yang sedang membaca koran. Ternyata yang membalas perkataanku bukanla kata lain, hanya sebuah senyum kecil yang menghiasi wajah lesu mungil, aku merasa ingin menangis.
          “Jangan hanya tersenyum begitu! Kau tak akan membalas perkataanku? Kau orangtua satu-satunya yang pantas memarahiku!” Aku pasti berteriak karena lelaki tua itu sudah menutup korannya dan dengan antusias menatapi kami dari balik kaca.
          Air jatuh dari mata cekungnya tetapi dengan cepat dia mengusapnya menampilkan tangan kasar hasil kerjanya,”Kau benar, aku berhak, tapi aku hanya, “dia membiarkan kata-katanya tergantung, cukup lama membiarkan seseorang melintas melewati kami,”Tidak tega,”
          Sekarang aku yang menangis.
          “ Tidak tega melihat kau melepaskan kemeja putihmu, celana oanjang birumu,” Lanjutnya terisak.
          “Kau tak perlu melihatku melepaskannya, karena kalau kau mengizinkan aku tak akan memakainya dan hati kecilmu tak perlu lagi menangis melihat aku melepaskannya,” Balasku hampir tanpa suara, airmata mengaliri kedua pipiku, “Kalau kau mengizinkan,” Jelasku
          Ibuku menatap wajahku bingung, “Izinku.izinku? jangan pernah minta izin pada wanita tua yang bahkan tak bisa membelikan alas kaki pada anak satu-satunya. Kertas yang bukan majalah bekas. Air bersih dari hasil kerjanya sendiri,” Katanya setengah merengek, “Dan aku bahkan menangis setiap malam menangis melihat wajah tidurmu yang polos di sebuah gubuk ronyok yang dari pendapat orang bukanlah tempat ting-“
          “Sebagai orangtua,” Potongku , “Apakah aku tak boleh minta izin dari wanita yang melahirkanku, menghidupiku, wanita yang berkerja membanting tulang dari rumah ke rumah, yang pada hari-hari itu dia bahkan tak melihat matahari bersinar, yang bahkan menemani tidur sang putra pada tiap malamnya, yang tanpa pernah proteskan hal itu?” Tanyaku sambil memalingkan muka, terlalu malu untuk melihat ibuku y yang kutebak sedang memandangiku dengan tatapan kosong.
          “Kau tak pernah berhak mendapatkannya! Lihat aku,” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan gaya yang hina, “Belajarlah darriku, dapatkan uang sambil melihat mentari itu nak, jika kau ingin izinku maka kau tak akan mendapatkannya, aku tak peduli kau mau berpendapat apa tentang aku, kau minta izinku dan kau tak mendapatkannya!” Bentaknya, lalu dia melanjutkan jalannya meninggalkan aku dibelakangnya.
          “Bagaimana bisa kau mengharapkan sesuatu dariku jika kau bahkan tak percaya pada dirimu sendiri,” kataku keras, “Aku adalah sebagaimana kau ada, darahmu keturunanmu jika kau terus merendahkan dirimu berarti kau, kau-“ Kata-kataku tergantung.
          Ibuku berbalik menghadapku, seluruh badannya ke arahku. Dalam gelap, sekilas terpintas kilatan di pipi ibuku. Air mata.
          “Sudahlah! Aku tak butuh izinmu! Aku hanya perlu mencari pekerjaan!” Bentakku.
          “Jangan,” ucap ibuku pelan, sebelah tanganny maju seperti ingin menggapai sesuatu yang tak tercapai.
          Kringg. Suara muncul dari arah toko buku, keluarlah lelaki tua yang aku sudah lupa bahwa setidaknya 10 menit yang lalu dia menyaksikan adegan yang tak pantas dilihat, “Kerja paruh waktuKalimat pertama yang keluar dari mulutnya, “Aku mendengar pembicaraan kalian dari tadi, kalian tahu kaca ini tidak terlalu tebal,” Lanjutnya sambil menunjuk ke arah kacannya, “Kalau kau berminat kau bisa berkerja, tentu saja sambil bersekolah,” Dia menawarkan, alisnya naik sedikit.
          “Apa?” Tanyaku tanpa sadar.
          “Berkerja itu kan yang kau mau?” Jelasnya, “Oh ya, seperti yang kau tahu bahwa ini adalah toko buku, jadi setidaknya kau harus bisa membaca,” Dia ucapkan kalimat itu dengan senyum tipis terukir di wajahnya, memperlihatkan garis-garis tua.
          Aku melihat ke arah ibuku dengan bingung tetapi ekspresi ibuku juga bingung tercampur dengan rasa terkejut, tentu saja berteriak di depan toko tua yang memiliki kaca yang tipis, apa yang kau harapkan kalau dia merasa kasihan.
          “Dan juga menulis,” Tambahnya, “Jadi kau mau atau tidak, sudah jam tutup toko,” Katanya cepat sambil menunjuk jam tangannya yang berada di tangan kirinya, lalu dengan cepat menggerakkan tanggannya ke arahku, jika kau mau ambil tangan ini, berjabat tanganla tangan itu seperti berbicara.
          Aku menoleh ke arah ibuku, terlihat sedikit anggukan kecil entah karena bingung atau memang setuju, sebaiknya setuju. Lalu dengan perlahan aku mengambil tangan itu. 

mohon kritik dan saran