Minggu, 06 September 2015


Langkah Penentu
by: Nyimas Anabella K.

          Sudah pukul 8 malam ucapku dalam hati, perlahan ku lirik ke arah tangga tanpa terkejut menyadari bahwa cahaya remang-remang masih menyinari, terlihat olehku bayang-bayang seseorang sesaat kemudian cahaya itu padam.
          “Jadi bagaimana menurutmu?” Kata suara yang tak sabaran dari sebelah kananku yang membuatku terlepas dari lamunanku, aku baru ingat aku berada di rumah sahabatku, sahabatku itu sedang sibuk membalik halaman bukunya, “Kau tahu hanya orang bodoh yang berpikir dirinya lebih tinggi dari orang lain, ataupun merasa dia lebih pintar dari orang yang dia kira bodoh,” Tambahnya lalu dia menutup bukunya menimbulkan sedikit bunyi lalu menaruhnya di atas tumpukan buku lainnya, sekarang perhatiannya tertuju ke arahku seakan meminta balasan cepat dariku.
          “Dan darimana kau dapat kata-kata itu?” Kataku singkat dengan senyum berusaha menjawab tatapan itu.
          “Well, dengan bangga aku mengatakannya atas penilaianku dari orang-orang yang telah aku temui,” Jawabnya percaya diri sambil menaikkan sebelah alisnya, memang ada rasa percaya diri dalam nada suaranya, “Anehnya ketika aku mengatakannya terhadap orang yang bersangkutan dia tidak kelihatan senang,” Katanya sambil mengangkat bahunya dan memiringkan sedikit kepalanya ke kanan membiarkan kacamatanya bergeser sedikit.
          “Yah, aku tak bisa bilang kau salah sih, tapi cobalah simpan setian kritikanmu untuk dirimu sendiri,” Ucapku tanpa melihat ke arahnya, perhatianku masih tertuju ke arah tangga, aku cukup mengenal sahabatku untuk tahu ekspresi wajah apa yang sedang dia buat.
          “Aha!” Serunya tanpa niat, “Rupanya sobatku sudah bosan, kita bisa mulai bermain kalau kau mau,” katanya riang aku mulai bertanya-tanya siapa yang bosan sebenarnya.
          “Anu,” Suara berasal dari muka pintu, seorang wanita tua dengan rambut yang hampir putih seluruhnya yang ditata seadanya membentuk sanggul berantakan, pakaiannya terlihat lama yang sudah kehilangan warnanya, suaranya terdengar kering. Ibuku kataku dalam hati. Tanpa menunda lagi aku segera beranjak keluar tak lupa aku mengedipkan sebelah mataku pada sobatku.
          “Eww,” Sahabatku membuat suara seperti anak perempuan yang sedang melihat kotoran untuk membalas kedipanku, aku tertawa geli.
*
          Aku berjalan melintasi jalan raya tanpa alas kaki mersakan aspal bercampur kerikil menusuk kakiku, di depanku Ibuku berjalan memperlihatkan bentuk badannya yang tidak enak dilihat terlihat dari belakang aku tidak bisa untuk tidak merasa kasihan pada Ibuku sendiri meakipun aku tahu bahwa itu tidak sopan.
          Aku memasukkan tanganku ke kantung celanaku berusaha melawan hawa dingin pada malam hari, meskipun sudah setiap malam berjalan pada jalan yang sama serta melawan suhu yang sama dan keheningan yang tak biasa dalam hal ibu dan anak tetapi tubuhku tidak juga terbiasa, lalu aku melirik ke arah Ibuku yang memakai baju tipisnya dan hanya berjalan sambil memandangi tanah, aku bertanya-tanya apakah ibuku sudah terbiasa. Aku mempercepat jalanku, sekarang aku dan Ibuku berjalan di garis yang sama.
          “Bagaimana sekolah?” Tanya Ibuku berusaha memulai percakapan, pertanyaan yang setiap anak di dunia sudah bosan.
          “Ibu tahu aku tidak mau sekolah,” Seruku tanpa bimbang, aku tahu menilai keadaan keuangan keluargaku yang hanya Ibuku seorang yang mencari uang, aku sudah pasti mengecewakannya, “Aku mulai berpikir sebaiknya aku jualan Koran atau menjadi buruh yang memakai otot saja,” tambahku.
          Aku cukup tahu Ibuku untuk mengetahui perasaannya, kecewa dan sedih perasaan yang setiap orangtua akan rasakan jika mendengar ankanya berkata begitu, “kalau Ibu memang ingin kau mendari uang, dari awal kau tidak akan tahu cara membaca, nak,” Kata ibuku sedikit bergumam, aku bahkan tak tahu kalau dia marah atau tidak, kecewa pikirku.
          Di belokan jalan kami sekali lagi berjalan tanpa suara, layaknya berjalan dengan orang yang tak dikenal dan kita pun tak ingin mengenalnya.
          “Mungkin memang aku tak harus bisa membaca,” kataku lalu memalingkan wajah ke Ibuku, ibuku balas menoleh, matanya berkaca-kaca, “maksudku, kalau aku juga nantinya akan jadi buruh aku tak butuh keunggulan itu,” Lanjutku suaraku lebih keras dari sebelumnya, aku sendiri bingung mengapa suaraku seperti itu.
          Aku dan Ibuku sudah berhenti berjalan, berhenti di depan toko buku yang berhiasi lampu bertuliskan “BUKA” yang dari kaca toko itu terlihat seorang lelaki tua yang sedang membaca koran. Ternyata yang membalas perkataanku bukanla kata lain, hanya sebuah senyum kecil yang menghiasi wajah lesu mungil, aku merasa ingin menangis.
          “Jangan hanya tersenyum begitu! Kau tak akan membalas perkataanku? Kau orangtua satu-satunya yang pantas memarahiku!” Aku pasti berteriak karena lelaki tua itu sudah menutup korannya dan dengan antusias menatapi kami dari balik kaca.
          Air jatuh dari mata cekungnya tetapi dengan cepat dia mengusapnya menampilkan tangan kasar hasil kerjanya,”Kau benar, aku berhak, tapi aku hanya, “dia membiarkan kata-katanya tergantung, cukup lama membiarkan seseorang melintas melewati kami,”Tidak tega,”
          Sekarang aku yang menangis.
          “ Tidak tega melihat kau melepaskan kemeja putihmu, celana oanjang birumu,” Lanjutnya terisak.
          “Kau tak perlu melihatku melepaskannya, karena kalau kau mengizinkan aku tak akan memakainya dan hati kecilmu tak perlu lagi menangis melihat aku melepaskannya,” Balasku hampir tanpa suara, airmata mengaliri kedua pipiku, “Kalau kau mengizinkan,” Jelasku
          Ibuku menatap wajahku bingung, “Izinku.izinku? jangan pernah minta izin pada wanita tua yang bahkan tak bisa membelikan alas kaki pada anak satu-satunya. Kertas yang bukan majalah bekas. Air bersih dari hasil kerjanya sendiri,” Katanya setengah merengek, “Dan aku bahkan menangis setiap malam menangis melihat wajah tidurmu yang polos di sebuah gubuk ronyok yang dari pendapat orang bukanlah tempat ting-“
          “Sebagai orangtua,” Potongku , “Apakah aku tak boleh minta izin dari wanita yang melahirkanku, menghidupiku, wanita yang berkerja membanting tulang dari rumah ke rumah, yang pada hari-hari itu dia bahkan tak melihat matahari bersinar, yang bahkan menemani tidur sang putra pada tiap malamnya, yang tanpa pernah proteskan hal itu?” Tanyaku sambil memalingkan muka, terlalu malu untuk melihat ibuku y yang kutebak sedang memandangiku dengan tatapan kosong.
          “Kau tak pernah berhak mendapatkannya! Lihat aku,” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan gaya yang hina, “Belajarlah darriku, dapatkan uang sambil melihat mentari itu nak, jika kau ingin izinku maka kau tak akan mendapatkannya, aku tak peduli kau mau berpendapat apa tentang aku, kau minta izinku dan kau tak mendapatkannya!” Bentaknya, lalu dia melanjutkan jalannya meninggalkan aku dibelakangnya.
          “Bagaimana bisa kau mengharapkan sesuatu dariku jika kau bahkan tak percaya pada dirimu sendiri,” kataku keras, “Aku adalah sebagaimana kau ada, darahmu keturunanmu jika kau terus merendahkan dirimu berarti kau, kau-“ Kata-kataku tergantung.
          Ibuku berbalik menghadapku, seluruh badannya ke arahku. Dalam gelap, sekilas terpintas kilatan di pipi ibuku. Air mata.
          “Sudahlah! Aku tak butuh izinmu! Aku hanya perlu mencari pekerjaan!” Bentakku.
          “Jangan,” ucap ibuku pelan, sebelah tanganny maju seperti ingin menggapai sesuatu yang tak tercapai.
          Kringg. Suara muncul dari arah toko buku, keluarlah lelaki tua yang aku sudah lupa bahwa setidaknya 10 menit yang lalu dia menyaksikan adegan yang tak pantas dilihat, “Kerja paruh waktuKalimat pertama yang keluar dari mulutnya, “Aku mendengar pembicaraan kalian dari tadi, kalian tahu kaca ini tidak terlalu tebal,” Lanjutnya sambil menunjuk ke arah kacannya, “Kalau kau berminat kau bisa berkerja, tentu saja sambil bersekolah,” Dia menawarkan, alisnya naik sedikit.
          “Apa?” Tanyaku tanpa sadar.
          “Berkerja itu kan yang kau mau?” Jelasnya, “Oh ya, seperti yang kau tahu bahwa ini adalah toko buku, jadi setidaknya kau harus bisa membaca,” Dia ucapkan kalimat itu dengan senyum tipis terukir di wajahnya, memperlihatkan garis-garis tua.
          Aku melihat ke arah ibuku dengan bingung tetapi ekspresi ibuku juga bingung tercampur dengan rasa terkejut, tentu saja berteriak di depan toko tua yang memiliki kaca yang tipis, apa yang kau harapkan kalau dia merasa kasihan.
          “Dan juga menulis,” Tambahnya, “Jadi kau mau atau tidak, sudah jam tutup toko,” Katanya cepat sambil menunjuk jam tangannya yang berada di tangan kirinya, lalu dengan cepat menggerakkan tanggannya ke arahku, jika kau mau ambil tangan ini, berjabat tanganla tangan itu seperti berbicara.
          Aku menoleh ke arah ibuku, terlihat sedikit anggukan kecil entah karena bingung atau memang setuju, sebaiknya setuju. Lalu dengan perlahan aku mengambil tangan itu. 

mohon kritik dan saran 

Sabtu, 01 Agustus 2015

Kenangan yang Membekas
by: Nyimas Anabella Khairunnisa

Hari ini, hari yang telah kami sepakati, meskipun diriku tahu, bahwa hanya akulah yang akan menepati janji kami, meskipun begitu, aku tahu bahwa engkau masih mengingat janji itu, aku tahu.
Dini hari, ku berjalan menuju tempat yang telah kita sepakati, dengan perlahan, saat-saat kita berjumpa mulai muncul sedikit demi sedikit dalam benakku, aku ingat dengan pasti, tanggal, hari, waktu dan tempat kejadiannya. 8 tahun yang lalu, disaat umur kita 10 tahun, engkau datang ke depan pintu rumahku, bersama ibumu dengan membawa sekotak kue di kedua tanganmu, ibumu memberitahu ibuku tentang sesuatu, hanyalah kata, “pindah,” yang bisa kuingat, begitu lugunya diriku saat itu, aku tidak tahu apa yang sedang ibu kita lakukan, dengan mata yang berbinar-binar, engkau melihat ke arahku, tepatnya ke arah mainan yang sedang kugenggam, entah mengapa ketika mengingatnya membuatku sedikit geli. Aku berhenti sejenak melihat ke langit, matahari belum terbit, tentu saja, ini masih sangat pagi. Aku melihat ke belakang, berharap engkau mengikutiku, seperti dulu sekali, tapi itu hanya harapan.
Aku, sendirian, benar-benar keadaan yang sangat berbeda, padahal dulu kita selalu berdua, sungguh menyedihkan. Aku berjalan dengan berbagai pertanyaan dalam benakku, mengapa engkau begitu antusias dengan berbagai hal? Apa yang membuat dirimu penasaran? Ingatan perlahan muncul dengan sendirinya, saat hari pertamamu di sekolah, kita satu kelas, sungguh keajaiban, di hari pertamamu, engkau sudah menjadi pusat perhatian, dengan berbagai pertanyaan yang aneh.
“keke…” tanpa kusadari aku terkekeh. Dengan sendirinya terasa beban yang sangat berat muncul dalam benakku, janji itu, apa engkau masih mengingatnya? Itu sudah sangat lama, dengan sendirinya, kakiku berhenti melangkah, aku memandang langit, cahaya matahari telah muncul, aku berlari, dalam benakku, antara optimis dan kekecewaan telah kuredam, lagipula siapa yang peduli dia masih ingat atau tidak, air mata menetes dengan sendirinya mengaliri wajahku, aku tak bisa menahan beban ini, terlalu menyedihkan.
Akhirnya, aku sampai, di tempat kita berjanji, sambil melihat sang surya dengan berani menunjukkan dirinya, pagi hari, tepat tanggal 22 maret, hari ulang tahunku, sekaligus hari dimana kita bertemu, di tempat kenangan, alangkah bagusnya jika engkau ada disini, kawanku, sahabatku, cinta pertamaku.
Dibalik pohon muncul sosok seorang laki-laki, membawa kado di genggamannya, berjalan tepat berada di depanku, engkau muncul, dengan senyuman yang menyebalkan terpapar di atas wajahmu, aku tak percaya, engkau ada disini, aku benar-benar tidak menyangka.
“aku benar-benar membencimu, bodoh, aku benar-benar menyayangimu,” ucapku tanpa sadar, dengan air mata yang mengalir dengan deras, membasahi wajahku.

mohon kritik dan saran:
E-mail: anabellakhairunnisa03@gmail.com
Time Twister
by: Nyimas Anabella Khairunnisa

“Dasar kalian tak berguna!” bentakan itu terdengar menggema sepanjang lapangan saat jeda istirahat latihan berlangsung. Seorang pemuda berdiri berkacak pinggang dengan kaki dihentakkan keras ke tanah.
“jace, setidaknya maklumilah kami sedikit, kami sudah berusaha semenjak pagi seperti yang kau sarankan, jangan selalu menyamakan kemampuan kami denganmu.” seorang pemuda menyela dengan hati-hati, berusaha ia mengeluarkan tampang senormal-normalnya, menahan perasaan emosi yang tertumpuk di pikirannya.
“Aku yang terlalu hebat, atau IQ kalian yang dongkok sih? sudah seharian berlatih tak membuahkan hasil, sama saja dengan tak punya otak!” Suara Jace menyela tinggi memekik, dibalikkan badannya menghadap gawang yang berada 10m di depannya. Di putar-putar bola yang terletak di kakinya, angin siang berhembus seiring dengan ayunan kakinya yang ia ayun ke belakang.
“Kalian mau contoh? biar kuberikan sedikit pertunjukan kepada kalian!” bola pun melambung memantul dari sepatu Nike Jace yang mulus putih, tak lebih dari 5 detik, gawang pun terhempas ke belakang oleh tendangannya. Ayunan bolanya membuat gawang itu terbalik menghadap rumput yang sudah mulai memanjang.
Tak ada yang berani berkata apapun, nafas para pemain klub bola SMA Bina Bangsa itu pun tercekat. mereka tau tak ada yang dapat menandingi kemampuan jace dalam hal bermain bola, seegois-egoisnya ia, tak ada yang bisa meragukan kemampuan kapten bernomor punggung 10 itu.
Hari itu adalah hari yang terik, para pemain klub sepakbola SMA Bina Bangsa sedang berkumpul di lapangan sepakbola yang terletak di tengan halaman sekolah mereka. Mereka sedang mengadakan latihan dan bertanding dengan sekolah tetangga mereka, yaitu SMA Tri Nusantara yang memiliki kemampuan sepakbola yang cukup megesankan. 2 minggu lagi kan diadakan pertandingan sepakbola antar provinsi, ajang itu merupakan kesempatan emas bagi SMA Bina Bangsa yang menjadi juara 4 kali berturut-turut di setiap generasinya.
Sudah sedari subuh tadi mereka latihan bersama, dalam segi kekuatan, SMA Bina Bangsa mereka sudah dapat dikatakan unggul beberapa poin, tetapi kapten mereka, jace, merupakan nominasi pemain sepakbola junior terbaik di kotanya, hal itulah yang membuatnya menjadi orang yang menginginkan keperfeksionisan dalam teknik bermain sepakbola.
“Aku mohon dengan kalian, tolonglah serius sedikit dalam menghadapi pertandingan ini, mentang saja tak ada pelatih, kalian dapat berleha-leha seperti ini begitu?“ jace melanjutkan dengan nada datar yang mengejek, ia masih membalikkan badannya menghadap gawang. menatap puas pada hasil tendangan yang ia lakukan.
Mereka pun mulai bermain kembali, baju seragam mereka telah membasah terbasuh oleh keringat. Manfred menggiring bola dari belakang dan mengopernya kepada Jace, Jace maju menyerbu, tertahan oleh Will dan Billy, melihat kaptennya terkepung, manfred mengayunkan tangannya meminta Jace untuk mengoper ke arahnya. Jace tidak mempedulikan manfred, ia memaksakan dirinya untuk terus maju, ditendangnya bola serong ke kanan dan kiri, tak sadar dengan pancingan Will, Jace pun terperangan ketika bolanya di rebut oleh Billy, dan gol pun tercetak oleh Billy dengan tendangan sejauh 30 meter dari gawang. Membisu, Jace menghentakkan kakinya ke tanah, di genggam tangannya keras-keras, dan ia pun berjalan menghentak hentak ke arah gawang timnya.
“Kenapa kau tidak mengoper bola padaku tadi? Kau tahu kan bahwa tadi kau sudah terkepung?!” tanya Manfred kepada Jace
“Terkepung? Kau tahu tadi aku berniat mengoper bola kepadamu tapi kaki kananku sedang sakit, yahh, dan aku salah menendang sehingga mereka mendapatkan gol, meskipun dengan cara yang licik!” kata Jace dengan nada yang merendahkan.
“Apa? Cara yang licik, aku tidak salah dengar kan, bukankah itu hanya alasanmu saja agar kau tidak kelihatan memalukan,” kata Will ketus.
“Apa? Jadi maksudmu aku ini pembohong, begitu dan satu lagi keberuntunganmu sudah musnah kau tahu?” kata Jace dengan nada yang membenci.
“Kau harus tahu Jace keegoisanmu itu membuat kami semua kesal, dan jika kakimu itu memang benar-benar sakit kau tak perlu menghentakkan kakimu itu ke tanah, asal kau tahu itu membuatnya terasa lebih sakit,” kata Billy kesal.
“Asal kalian tahu ya, aku ini tak seperti kalian yang dilahirkan dikalangan rakyat jelata aku ini keturunan bangsawan dan itu berarti darah bangsawan mengalir dalam tubuhku,” kata Jace menghina.
“Apakah kau bisa berhenti untuk menghina kami tuan yang egois?” kata Manfred dengan nada yang seperti ingin membunuh Jace.
“Apa kau tidak salah Manfred? Aku hanya bicara apa adanya, itu adalah perkataan yang jujur, bersih, dan tanpa ada kebohongan didalamnya.” kata Jace dengan nada yang datar.
“Sudah cukup aku muak dengan tingkah lakumu Jace, kau terlalu egois, dan satu lagi kau sok mengatur, kami semua tahu itu, aku keluar!” kata Manfred tegas.
“Apa? Kau tidak bisa melakukannya Manfred kau adalah wakil dari tim ini, kau tidak bisa seenaknya keluar begitu saja!” seru Jace kepada manfred sambil mengangkat alis sebelah.
“Baiklah kalau begitu aku menunjuk Billy sebagai wakil tim ini, aku tak mau ambil pusing lagi yang jelas aku keluar.” seru Manfred sambil berjalan keluar lapangan tanpa menoleh.
“Apa kau tak bisa begitu, aku kaptennya dan akulah yang berhak memutuskannya!” teriak Jace kepada Manfred meskipun dia melihat Billy yang mukanya datar tanpa ekspresi.
“Kurasa aku akan keluar juga, aku bosan di sini kaptennya tukang ngatur!” kata Will sambil berjalan tanpa menatap seorang pun.
“Aku juga.” kata Billy sambil berlari kecil untuk menyusul Will.
Akhirnya satu persatu orang-orang dari tim itu keluar dan hanya tinggal kaptennya seorang diri yaitu Jace.
“Terserah kalian!!” teriak Jace penuh amarah.
Setelah sore Jace pun berlatih seorang diri di rumahnya yang besar dan dikelilingi oleh hutan yang cukup lebat, dengan penuh emosi dia menendang bola sekuat kuatnya sampai gawang besinya bengkok dan bolanya melanting ke dalam hutan.
“Sial!!!” katanya kesal.
Jace pun pergi mencari bola, ternyata di luar perkiraanya, hutan yang dimilikinya ternyata terdapat gua, tepat di samping gua itu ada bola yang di tendang oleh Jace, dengan penuh rasa penasaran Jace pun memasuki gua itu dengan ranting dan bola yang siap di tendang jika ada binatang buas di dalamnya, di dalam gua Jace menemukan batu yang berwarna biru keungu-uguan batu itu berada tepat di bawah celah dari batu-batu gua Jace melihat batu itu jace pun mengambil batu itu dan bergegas pergi dari gua itu karena hari mulai malam dan mulai turun hujan.
Jace terpaksa berlari agar tidak basah, ternyata hujan telah membasahi sepatu dan pakaiannnya, di depan pintu rumahnya seluruh tubuh Jace telah basah terkena air hujan, termasuk batu yang baru di ambil olehnya, dia akhirnya masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan basah, dan dia langsung melempar batunya ke atas meja.
Entah kenapa, Jace yang tadinya ada di dalam rumah sekarang berada di suatu tempat yang dia tidak tahu tempat apa itu, Jace tanpa pikir panjang pergi mencari tempat berteduh karena di tempat itu juga turun hujan yang tak kalah derasnya dengan yang tadi Jace rasakan, karena tidak tahu tempat apa itu Jace bermaksud untuk bertanya tempat apa ini? Setelah mencari orang untuk bertanya Jace menemukan seorang gelandangan, gelandangan itu memakai selembar baju dan celana yang sudah tak layak untuk di pakai lagi, karena tak tahu lagi orang yang bisa di ajak untuk bicara, dengan terpaksa Jace harus bertanya kepada gelandangan itu.
“Hei, apakah kau tahu ini di mana?” kata jace tak niat, sambil melihat pemuda itu yang pakaiannya compang-camping.
“Tolong, berikanlah aku uang, Rp 100,- saja,” ucap gelandangan itu.
“Hei, ayolah aku ingin tahu tempat apa ini?” sebut Jace.
Gelandangan itu melihat Jace, terheran, terkejut, dan kemudian berdiri, Jace mendorongnya, Jace pun terkejut karena gelandangan itu tiba-tiba berdiri.
“Aku, itu aku, muda sekali, muda sekali,” kata gelandangan itu sambil berjalan pelan.
“Jangan mendekat, kau sangat kotor!” kata Jace sambil berjalan mundur.
“Kumohon, aku mohon jangan sombong, jangan tinggi hati, jangan egois, jangan, jangan, melakukan hal yang membuat orang lain kesal,” ucap glandangan itu dengan suara yang terisak.
“Apa maksudmu?” kata Jace heran.
“Aku, aku, aku adalah kau, dan kau adalah aku, ku mohon jangan egois,” kata gelandangan itu
“Jangan mencoba menipuku untuk mendapatkan uang dariku, dan yang kau katakan sama sekali tak masuk akal!” kata Jace sambil membuang muka.
Hujan semakin deras, Jace semakin kebasahan, terpaksa dia harus berdiri di samping gelandangan itu, karena hanya tempat berdiri gelandangan itulah yang terdekat, meskipun Jace enggan untuk berdiri di sana karena gelandangan itu masih berdiri menatap Jace dengan mata berkaca-kaca.
“Bisa kau berhenti menatapku, kau membuatku jijik,” ucap Jace.
“Ah, iya maaf, tapi jangan pernah membuat orang kesal, aku adalah kau, dan kau adalah aku,” kata gelandangan itu serius.
“Maafkan aku tuan pemaksa, tapi kau sama sekali tidak memiliki bukti!” kata Jace mulai kesal.
“Aku, aku punya!” kata gelandangan itu serius, lalu gelandangan itupun menunjukkan sebuah tanda lahir, yang berada, berada di pundak.
“Oh, ya memang aku memiliki tanda lahir di pundak, tapi bisa saja itu sebuah kebetulan,” kata Jace.
“Aku masih punya yang lain,” kata gelandangan itu, lalu menunjukkan kalung yang berada di dalam sakunya.
“Itu, itu tak mungkin, kalung itu hadiah dari ayahku, katanya itu di pesan khusus, dan hanya ada satu di dunia!” kata Jace terkejut, tapi mulai percaya omongan dari gelandangan itu.
“Aku masih punya, kau bernama Jace William, lahir tanggal 22 maret tahun 2000, alamatmu jalan noble no, 123, kakakmu bernama Ana, kakakmu dia orangnya cerewet, tapi dia sukses dalam bidang bisnis, sedangkan kau bercita-cita menjadi atlet bola profesional, tapi lihat kenyataan, kau terlalu egois, kau ditinggalkan oleh teman setimmu, dan jangan pikir kau dapat bermain bola sendirian!” bentak gelandangan itu dengan nada penuh emosi.
“Baiklah aku percaya, yang kau sebutkan semuanya benar, seluruhnya tanpa terkecuali! aku tahu aku tidak bisa bermain sepak bola sendirian, aku tahu itu, tapi mau bagaimana lagi mereka membuatku kesal, Billy, dia menunjukkan bahwa dia lebih hebat dariku 30 m, siapa yang tidak akan terkejut?!” katanya dengan nada yang penuh dengan emosi, yang tak kalah dengan gelandangan itu.
“Jadi berhentilah bersikap sombong, kau terlalu egois, dan satu lagi, berhentilah membuat orang kesal!!” katanya.
“Aku tahu, aku tahu!” kata Jace menahan tangis.
Hening, perdebatan antara 2 orang yang sama kini berhenti, sepertinya tak ada di antara salah satu dari kedua orang itu yang ingin melanjutkan pembicaraan itu, terutama Jace, dia mulai meneteskan air mata, wajahnya memerah, bagaimana tidak, dia merasakan bentakan dari dirinya sendiri, hujan sudah reda, gelandangan itu pun pergi meninggalkan Jace seorang diri.
Tanpa sadar Jace sudah berada di sekolahnya, di lapangan yang dia sewa, melihat lagi, mendengar lagi kata-kata yang teman-teman setimnya ucapkan sewaktu meninggalkannya.
“Sudah cukup aku muak dengan tingkah lakumu Jace, kau terlalu egois, dan satu lagi kau sok mengatur, kami semua tahu itu, aku keluar!” kata Manfred tegas.
Hening, Jace terpaku dia menyaksikan dan mendengar hal yang sama dengan yang terjadi tadi pagi, padahal mestinya sekarang sudah malam.
“Tunggu Manfred, maafkan aku aku mohon jangan keluar dari tim ini,” kata Jace yang sudah memahami situasi.
Hening, semua terdiam, bahkan Manfred yang sudah ingin berjalan keluar pun berhenti dengan keadaan mulut terbuka, seakan 10 orang di situ sehabis melihat hantu.
“Mohon” kata Billy terkejut.
“Jace bilang mohon” ulang Will.
Tiba-tiba Jace kembali ke kamarnya, hujan sudah reda, langit kembali menjadi malam, Jace terkejut, mencubit dirinya sendiri, menganggap dirinya mimpi, dia melihat ke arah tempat dia meninggalkan batu itu, tetapi batu itu sudah menghilang, lalu dia melihat ke arah ponselnya, ada SMS dari Manfred, “Hei, Jace bagaimana besok kalau kita latihan lagi, pukul 08:00″ dengan tersenyum Jace membalas pesan itu dan menuliskan, “ok, aku akan sangat bersemangat.”

mohon kritik dan sarannya:
email: anabellakhairunnisa03@gmail.com