Langkah
Penentu
by: Nyimas Anabella K.
by: Nyimas Anabella K.
Sudah pukul 8 malam ucapku dalam hati,
perlahan ku lirik ke arah tangga tanpa terkejut menyadari bahwa cahaya
remang-remang masih menyinari, terlihat olehku bayang-bayang seseorang sesaat
kemudian cahaya itu padam.
“Jadi
bagaimana menurutmu?” Kata suara yang tak sabaran dari sebelah kananku yang
membuatku terlepas dari lamunanku, aku baru ingat aku berada di rumah
sahabatku, sahabatku itu sedang sibuk membalik halaman bukunya, “Kau tahu hanya
orang bodoh yang berpikir dirinya lebih tinggi dari orang lain, ataupun merasa
dia lebih pintar dari orang yang dia kira bodoh,” Tambahnya lalu dia menutup
bukunya menimbulkan sedikit bunyi lalu menaruhnya di atas tumpukan buku
lainnya, sekarang perhatiannya tertuju ke arahku seakan meminta balasan cepat
dariku.
“Dan
darimana kau dapat kata-kata itu?” Kataku singkat dengan senyum berusaha
menjawab tatapan itu.
“Well, dengan bangga aku mengatakannya
atas penilaianku dari orang-orang yang telah aku temui,” Jawabnya percaya diri
sambil menaikkan sebelah alisnya, memang ada rasa percaya diri dalam nada
suaranya, “Anehnya ketika aku mengatakannya terhadap orang yang bersangkutan
dia tidak kelihatan senang,” Katanya sambil mengangkat bahunya dan memiringkan
sedikit kepalanya ke kanan membiarkan kacamatanya bergeser sedikit.
“Yah,
aku tak bisa bilang kau salah sih, tapi cobalah simpan setian kritikanmu untuk
dirimu sendiri,” Ucapku tanpa melihat ke arahnya, perhatianku masih tertuju ke
arah tangga, aku cukup mengenal sahabatku untuk tahu ekspresi wajah apa yang
sedang dia buat.
“Aha!”
Serunya tanpa niat, “Rupanya sobatku sudah bosan, kita bisa mulai bermain kalau
kau mau,” katanya riang aku mulai bertanya-tanya siapa yang bosan sebenarnya.
“Anu,”
Suara berasal dari muka pintu, seorang wanita tua dengan rambut yang hampir
putih seluruhnya yang ditata seadanya membentuk sanggul berantakan, pakaiannya
terlihat lama yang sudah kehilangan warnanya, suaranya terdengar kering. Ibuku kataku dalam hati. Tanpa menunda lagi aku segera beranjak
keluar tak lupa aku mengedipkan sebelah mataku pada sobatku.
“Eww,”
Sahabatku membuat suara seperti anak perempuan yang sedang melihat kotoran
untuk membalas kedipanku, aku tertawa geli.
*
Aku
berjalan melintasi jalan raya tanpa alas kaki mersakan aspal bercampur kerikil
menusuk kakiku, di depanku Ibuku berjalan memperlihatkan bentuk badannya yang
tidak enak dilihat terlihat dari belakang aku tidak bisa untuk tidak merasa
kasihan pada Ibuku sendiri meakipun aku tahu bahwa itu tidak sopan.
Aku
memasukkan tanganku ke kantung celanaku berusaha melawan hawa dingin pada malam
hari, meskipun sudah setiap malam berjalan pada jalan yang sama serta melawan
suhu yang sama dan keheningan yang tak biasa dalam hal ibu dan anak tetapi tubuhku
tidak juga terbiasa, lalu aku melirik ke arah Ibuku yang memakai baju tipisnya
dan hanya berjalan sambil memandangi tanah, aku bertanya-tanya apakah ibuku
sudah terbiasa. Aku mempercepat jalanku, sekarang aku dan Ibuku berjalan di
garis yang sama.
“Bagaimana
sekolah?” Tanya Ibuku berusaha memulai percakapan, pertanyaan yang setiap anak
di dunia sudah bosan.
“Ibu
tahu aku tidak mau sekolah,” Seruku tanpa bimbang, aku tahu menilai keadaan
keuangan keluargaku yang hanya Ibuku seorang yang mencari uang, aku sudah pasti
mengecewakannya, “Aku mulai berpikir sebaiknya aku jualan Koran atau menjadi
buruh yang memakai otot saja,” tambahku.
Aku
cukup tahu Ibuku untuk mengetahui perasaannya, kecewa dan sedih perasaan yang
setiap orangtua akan rasakan jika mendengar ankanya berkata begitu, “kalau Ibu
memang ingin kau mendari uang, dari awal kau tidak akan tahu cara membaca,
nak,” Kata ibuku sedikit bergumam, aku bahkan tak tahu kalau dia marah atau
tidak, kecewa pikirku.
Di
belokan jalan kami sekali lagi berjalan tanpa suara, layaknya berjalan dengan
orang yang tak dikenal dan kita pun tak ingin mengenalnya.
“Mungkin
memang aku tak harus bisa membaca,” kataku lalu memalingkan wajah ke Ibuku,
ibuku balas menoleh, matanya berkaca-kaca, “maksudku, kalau aku juga nantinya
akan jadi buruh aku tak butuh keunggulan itu,” Lanjutku suaraku lebih keras
dari sebelumnya, aku sendiri bingung mengapa suaraku seperti itu.
Aku
dan Ibuku sudah berhenti berjalan, berhenti di depan toko buku yang berhiasi
lampu bertuliskan “BUKA” yang dari kaca toko itu terlihat seorang lelaki tua
yang sedang membaca koran. Ternyata yang membalas perkataanku bukanla kata
lain, hanya sebuah senyum kecil yang menghiasi wajah lesu mungil, aku merasa
ingin menangis.
“Jangan
hanya tersenyum begitu! Kau tak akan membalas perkataanku? Kau orangtua
satu-satunya yang pantas memarahiku!” Aku pasti berteriak karena lelaki tua itu
sudah menutup korannya dan dengan antusias menatapi kami dari balik kaca.
Air
jatuh dari mata cekungnya tetapi dengan cepat dia mengusapnya menampilkan
tangan kasar hasil kerjanya,”Kau benar, aku berhak, tapi aku hanya, “dia
membiarkan kata-katanya tergantung, cukup lama membiarkan seseorang melintas
melewati kami,”Tidak tega,”
Sekarang
aku yang menangis.
“
Tidak tega melihat kau melepaskan kemeja putihmu, celana oanjang birumu,”
Lanjutnya terisak.
“Kau
tak perlu melihatku melepaskannya, karena kalau kau mengizinkan aku tak akan
memakainya dan hati kecilmu tak perlu lagi menangis melihat aku melepaskannya,”
Balasku hampir tanpa suara, airmata mengaliri kedua pipiku, “Kalau kau
mengizinkan,” Jelasku
Ibuku
menatap wajahku bingung, “Izinku.izinku?
jangan pernah minta izin pada wanita tua yang bahkan tak bisa membelikan alas
kaki pada anak satu-satunya. Kertas yang bukan majalah bekas. Air bersih dari
hasil kerjanya sendiri,” Katanya setengah merengek, “Dan aku bahkan menangis
setiap malam menangis melihat wajah tidurmu yang polos di sebuah gubuk ronyok
yang dari pendapat orang bukanlah tempat ting-“
“Sebagai
orangtua,” Potongku , “Apakah aku tak boleh minta izin dari wanita yang
melahirkanku, menghidupiku, wanita yang berkerja membanting tulang dari rumah
ke rumah, yang pada hari-hari itu dia bahkan tak melihat matahari bersinar,
yang bahkan menemani tidur sang putra pada tiap malamnya, yang tanpa pernah
proteskan hal itu?” Tanyaku sambil memalingkan muka, terlalu malu untuk melihat
ibuku y yang kutebak sedang memandangiku dengan tatapan kosong.
“Kau
tak pernah berhak mendapatkannya! Lihat aku,” katanya sambil menunjuk dirinya
sendiri dengan gaya yang hina, “Belajarlah darriku, dapatkan uang sambil
melihat mentari itu nak, jika kau ingin izinku maka kau tak akan
mendapatkannya, aku tak peduli kau mau berpendapat apa tentang aku, kau minta
izinku dan kau tak mendapatkannya!” Bentaknya, lalu dia melanjutkan jalannya
meninggalkan aku dibelakangnya.
“Bagaimana
bisa kau mengharapkan sesuatu dariku jika kau bahkan tak percaya pada dirimu
sendiri,” kataku keras, “Aku adalah sebagaimana kau ada, darahmu keturunanmu
jika kau terus merendahkan dirimu berarti kau, kau-“ Kata-kataku tergantung.
Ibuku
berbalik menghadapku, seluruh badannya ke arahku. Dalam gelap, sekilas
terpintas kilatan di pipi ibuku. Air
mata.
“Sudahlah!
Aku tak butuh izinmu! Aku hanya perlu mencari pekerjaan!” Bentakku.
“Jangan,”
ucap ibuku pelan, sebelah tanganny maju seperti ingin menggapai sesuatu yang
tak tercapai.
Kringg. Suara muncul dari arah toko
buku, keluarlah lelaki tua yang aku sudah lupa bahwa setidaknya 10 menit yang
lalu dia menyaksikan adegan yang tak pantas dilihat, “Kerja paruh waktu” Kalimat pertama yang keluar dari
mulutnya, “Aku mendengar pembicaraan kalian dari tadi, kalian tahu kaca ini
tidak terlalu tebal,” Lanjutnya sambil menunjuk ke arah kacannya, “Kalau kau
berminat kau bisa berkerja, tentu saja sambil bersekolah,” Dia menawarkan,
alisnya naik sedikit.
“Apa?”
Tanyaku tanpa sadar.
“Berkerja
itu kan yang kau mau?” Jelasnya, “Oh ya, seperti yang kau tahu bahwa ini adalah
toko buku, jadi setidaknya kau harus bisa membaca,” Dia ucapkan kalimat itu dengan
senyum tipis terukir di wajahnya, memperlihatkan garis-garis tua.
Aku
melihat ke arah ibuku dengan bingung tetapi ekspresi ibuku juga bingung
tercampur dengan rasa terkejut, tentu
saja berteriak di depan toko tua yang memiliki kaca yang tipis, apa yang kau
harapkan kalau dia merasa kasihan.
“Dan
juga menulis,” Tambahnya, “Jadi kau mau atau tidak, sudah jam tutup toko,”
Katanya cepat sambil menunjuk jam tangannya yang berada di tangan kirinya, lalu
dengan cepat menggerakkan tanggannya ke arahku, jika kau mau ambil tangan ini, berjabat tanganla tangan itu
seperti berbicara.
Aku
menoleh ke arah ibuku, terlihat sedikit anggukan kecil entah karena bingung
atau memang setuju, sebaiknya setuju.
Lalu dengan perlahan aku mengambil tangan itu.
mohon kritik dan saran